Bahasa adalah produk sehari-hari yang dihasilkan oleh manusia. Dalam kehidupan sehari-hari manusia memproduksi bahasa untuk berbagai tujuan. Manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain, baik itu yang bersifat abstrak maupun yang bersifat konkrit. Dengan kata lain, bahasa adalah instrument komunikasi yang diproduksi oleh organ wicara manusia. De Saussure menyatakan bahwa bahasa (language) adalah langue dan parole, atau dangen istilah Chomsky (1965) bahasa adalah competence dan performance.
Dalam artian lain, bahasa didefenisikan sebagai institusi sosial dimana bahasa dihasilkan dari praktek sosial. Pada defenisi ini, bahasa tidaklah hanya sebatas tingkatan bentuk; bunyi, kata, kalimat, tata bahasa, dan sebagainya, namun bahasa merujuk kepada fungsi, nilai, dan ideologi. Dalam konteks sosial, kata tidakalah “mengandung” makna di dalamnya, dan makna tidak dapat “ditemukan” di dalam kata itu sendiri. Makna berada dalam pikiran manusia yang dikonstruksi melalui praktek-praktek sosial. Oleh karena manusia adalah individu yang beranekaragam, yang memiliki pikiran dan kepribadian yang berbeda-beda, maka makna yang dibentuk beranekaragam pula.
Dalam kehidupan sosial, dimana bahasa digunakan dalam konteks dan fungsi tertentu, makna menjadi sesuatu yang relatif. Dengan kata lain, tidak ada satupun bentuk lingual, baik kata, frasa, atau kalimat, yang hanya memiliki satu makna atau satu fungsi saja. Makna dan fungsi sebuah bentuk bahasa disandarkan pada konteks dimana ia muncul yang dalam istilah linguistik disebut etnografi kominikasi (ethnography of communication). Hymes (1960) menyatakan bahwa teori linguistik tidak hanya tidak hanya membahas kemampuan gramatikal antara penutur dan pendengar, tapi juga membahas perilaku komunikasi dalam konteks budaya. Jadi, ketika seseorang berbicara atau menulis, maka pada saat yang sama dia juga membuat konteks. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Yule (1996) bahwa tindak tutur dan peristiwa tutur adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Pada tingkat yang lebih kritis, bahasa sebagai bentuk konstruksi sosial, dipandang tidak hanya sebagai sesuatu yang terbentuk secara alamiah (natural), namun lebih merupakan sesuatu yang dirancang (naturalized). Oleh karena itu, wacana sebagai bentuk lingual terbesar tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja. Hal kemudian ini memunculkan disiplin analisa perspektif kritis yang bersifat multi-bidang (multidisciplinary) dan lintas-bidang (interdisciplinary) yang dikenal dengan analisa wacana kritis atau critical discourse analysis (CDA). Analisa wacana kritis (CDA) lebih fokus pada hubungan antara kekuasaan (power) dan wacana (discourse) (van Dijk 2001: 352). Fairclough (2001) menyatakan bahwa analisa wacana kritis melihat hubungan antara wacana (discourse) dan ideologi (ideology). Dengan demikian, kajian kebahasaan tidak hanya berhenti pada tataran bentuk dan fungsi saja, tetapi juga menyentuh area yang lebih esensi, yaitu nilai dan ideologi.
Bahasa Rekayasa Sosial (Language of Social Engineering)
Rekayasa sosial adalah salah satu kajian ilmu politik yang mengacu pada usaha untuk mempengaruhi sikap dan tindakan sosial dalam skala besar. Istilah rekayasa sosial lahir di Uni Soviet pada tahun 1920an untuk menggulingkan kekuasan Tsar. Pemerintah Soviet menggunakan Koran, buku, film, bahkan arsitektur untuk merubaha tatanan dan sturuktur ideologi masyarakat. Ide ini kemudian berkembang di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, sehingga muncullah berbagai isilah politis seperti revolusi, propaganda, junta militer, dan coup d’état.
Namun, secara sederhana, rekayasa sosial (social engineering) adalah tindakan memanipulasi orang untuk mendapatkan akses atau informasi penting. Rekayasa sosial terjadi dalam kehidupan sehari-hari, pada setiap lapisan masyarakat, dan pada setiap bidang kehidupan manusia. Mulai dari tingkatan rakyat biasa, hingga ketingkatan pemerintah, muali dari bidang ekonomi, hingga ke bidang politik. Namun, pada tingkatan yang lebih kritis, rekayasa sosial tidak hanya sebatas tindakan dari si pelaku tetapi juga bagaimana mengontrol dan mengendalikan baik individu maupun masyarakat (mass manipulation). Diantara kategori umum yang rekayasa sosial yang sering dijumpai antara lain, hacker, spionase, sales, dokter, psikiater, politisi, dan otoritas pemerintahan. Tujuan utama dari rekayasa sosial adalah mengambil dan mengeksploitasi sumber daya yang ada pada target, baik berupa informasi, materi, bahkan ideologi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa adalah instrument utama dari rekayasa sosial. Pada tingkatan ini, bahasa tidak hanya sebagai media komunikasi, tapi juga sebagai instrument untuk mempengaruhi orang lain. Dalam mengeksplotasi informasi misalnya, penggunaan pola bahasa tertentu akan mempengaruhi seseorang dalam memberikan informasi. Hal ini tentu membutuhkan pengetahuan tentang target atau lawan tutur.
Pengumpulan informasi (information gathering) tentang target merupakan tahap awal dalam proses rekayasa sosial. Seperti yang dikatakan Napoleon War is ninety percent information. Proses selanjutnya adalah menyerap dan mengeksploitasi informasi dari target dalam percakapan normal yang dikenal dengan elisitasi (elicitation). Disini, konsep tentang tindak tutur (Speech act) dan kesantunan (politeness) memainkan peranan yang sangat penting. Misalnya,
- Kebanyakan orang cendrung untuk berlaku sopan, sehingga tidak jarang kita memberikan informasi bahkan kepada orang asing.
- Kebanyakan orang cendrung ingin tampak mengerti tentang spesialisasi pekerjaannya, sehingga ia cendrung berkata lebih banyak dari pada seharusnya.
- Kebanyakan orang ingin dihargai dan beranggapan apa yang dilakukanya adalah hal yang sangat penting, sehingga ia akan memberikan informasi yang banyak tentang pentingnya pekerjaannya.
- Kebanyakan orang merespon dengan baik kepada orang yang tampak serius memperhatikannya.
Kecendrungan diatas dapat dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk mendapatkan informasi dan menggunakannya untuk kepentingan tertentu. Dalam analisa linguistik, pelaku rekayasa sosial biasanya memiliki pengetahuan yang mampuni, perhatiakan contoh berikut:
Pelaku : “You must have an important job; it seems to think very highly of you.”
Target : “Thank you, that is nice of you to say, but my job isn’t that important. All I do here is…”
Dari pertanyaan si pelaku, ia menggunakan kesantunan dengan menerapkan face saving acts (FSA) diman ia tidak melakukan intervensi kepada si target, sehingga si target merasa tidak terpaksa menjawab pertanyaan tersebut. Akan beda halnya jika si pelaku menggunkkan ujaran langsung (direct utterance), seperti, what is your job?. Ujaran ini mengancam (threat) muka si target karena ia diposisikan harus menjawab pertanyaan tersebut.
Dalam rekayasa sosial membentuk persepsi target tentang sesuatu sangatlah penting yang dikenal dengan pra-teks(pretext). Dalam kamus Cambridge, pretext didefenisaikan “a pretended reason for doing something that is used to hide the real reason”. Widdowson (2004: 79) menyatakan bahwa istilah pra-teks mengacu pada motif rahasia dimana seseorang berpura-pura melakukan sesuatu tapi dengan tujuan yang lain. Pretext sangatlah penting untuk membangun kepercayaan. Seseorang akan melakukan sesuatu yang dianggapnya benar. Fungsi preteks adalah untuk membangun konsep kebenaran dan kepercayaan akan sesuatu pada pikiran korban. Dalam analisa speech act, prateks digunakan untuk mengontrol perlokusi.
Pada tahap pretext, yang berhubungan dengan persepsi dan pikiran, analisa kebahasaan membutuhkan pendekatan psikologi. Pada tahap ini kajian Neuro Linguistik Programing (NLP) yang dicetuskan oleh Richard Brandler dan John Grinder (1975) sangatlah penting. Kajian ini membahas bagaimana pola pikir dan tindakan dipengaruhi oleh kekuatan kata-kata. Kajian Neuro linguistik berfokus pada tindakkan yang menyertai tuturan, sehingga bagaimana mengatakan sesuatu lebih penting dari apa yang dikatakan. Oleh karena itu, unsur-unsur suprasegmental (seperti intonasi, tekakan, nada, aksen, irama) dan non-linguistik (seperti gerak tubuh, gambar, tanda, ekspresi wajah) memainkan peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi lawan tutur. Unsur-unsur tersebut dielaborasi untuk meyakinkan lawan tutur dan mengendalikan ikiran, tindakan, dan keyakinannya (ideologi).
Seperti halnya memori komputer, otak manusia mampu bekerja dengan matas maksimum tertentu. Dalam istilah komputer, dikenal istilah buffer dimana terdapat area luang dimana suatu bisa perintah atau karakter bisa disisipkan. Semakin besar buffer, maka kemungkinan terjadinya kerusakan system dan kerentanan keamamanan semakin besar pula. Tidak seperti komputer, otak manusia tidaklah rusak, namun hal ini dapat membuka kesempatan untuk menginjeksi perintah-perintah sehingga dapat mempengaruhi lawan tutur/ target. Buffer pada manusia dapat berupa penggunaan bahasa baik dalam bentuk ujaran atau wacana yang dapat memancing kebingungan lawan tutur, baik dalam segi bentuk maupun makna. Seperti penggunaan bahasa Inggris, penggunaan kata-kata yang ambigu, penggunaan istilah-istilah, ataupun pemaparan topik-topik tertentu diluar kemampuan lawan tutur/ target untuk mencernanya. Dengan kata lain, penutur/ orang yang memproduksi wacana berusaha untuk mendominasi pikiran, tindakan, dan ideologi lawan tutur/ target. Pada tahapan ini, konsep Van dijk tentang bahasa (language) dan kekuasaan (power) sangat penting untuk melihat bagaimana penutur mendominasi lawan tuturnya. Perhatikan contoh cookies berikut:
Pada contoh diatas, cookies muncul dengan dua bahasa yang berbeda. Namun, penekanan teks pada kedua gambar diatas bukanlah pada pernyataan tapi pada produk yang dicetak tebal. Ketika membaca teks berbahasa inggris, maka target akan mempergunakan otaknya untuk memahami teks tersebut. Bagi target yang kurang memahami teks tersebut maka hal tersebut akan membingungkannya sehingga ia hanya akan berfokus pada produk yang dicetak tebal. Pada gambar ketika, produsen teks lebih memilih unsur visual untuk menarik perhatian target.
Konteks dalam rekayasa sosial merupakan hal terpenting. Bentuk lingual hanyalah abstraksi dari ide-ide yang akan tidak berarti tanpa konteks. Dalam rekayasa sosial, konteks dirancang sedemikian rupa sehingga komunikasi tampak berjalan natural. Konteks dirancang berdasarkan siapa target yanga akan menjadi saran. Oleh karena itu, produsen teks harus dapat mempertimbangkan siapa targetnya dan hal apa yang dapat mempengaruhi tindakan dan ideologinya.
Benjamin Franklin berkata If you would persuade, you must appeal to interest rather than intellect. Ketertarikan (interest) merupakan kunci untuk dapat menyedot perhatian orang. Seseorang yang “tertarik” maka akan mudah dikendalikan dan diarahkan untuk melakukan tindakan tertentu. Hal ini banyak dimanfaatkan oleh berbagai pihak, seperi pemerintah, partai politik, sales, psikolog, hacker, dan sebagainya, untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain.
Diantara aspek yang sering digunakan dalam rekayasa sosial khusunya di dunia maya adalah materi (financial) dan sex. Pada gambar pertama, aspek yang ditonjolkan adalah aspek financial dimana seserang dapat menghasilkan jutaan rupiah dalam waktu singkat dan dengan cara yang mudah. Teks dibuat padat dan langsung, tanpa berbasa-basi. Sedangkan pada gambar kedua, teks disajikan dalam bentuk undangan dengan bahasa yang spekulatif.
Singkatnya, bahasa merupakan instrument yang sangat penting dalam rekayasa sosial. Analisa kebahasaan dalam konteks rekayasa sosial membutuhkan analisa lintas bidang dan melibatkan berbagai aspek keilmuan. Di era digital seperti saat ini, dimana hampir seluruh aspek kehidupan real manusia tertarik keduania simulasi dan hiperrealitas, rekayasa sosial menjadi isu yang sangat dominan karena berhubungan dengan privasi dan keamanaan. Lebih jauh lagi, kajian tentang bahasa dan rekayasa sosial menyentuh area ideologi dan psikologi manusia.
Oleh: Handoko
Referensi
Akeel Bilgrami. 1992. Belief and meaning: the unity and locality of mental content. Blackwell Publishers: Cambridge
Ahti-Veikko Pietarinen (ed). 2007. Game Theory and Linguistic Meaning. Elsevier: Amsterdam.
Carol Kinsey Goman. 2008. The Nonverbal Advantage. Berrett-Koehler Publishers: California.
Christopher Hadnagy. 2011. Social Engineering: The Art of Human Hacking. Wiley Publishing: Indianapolis.
David M. Boush, Marian Friestad, Peter Wright. 2009. Deception in the marketplace : the psychology of deceptive persuasion and consumer self protection. Routledge: New York.
Gilbert Weiss and Ruth Wodak (ed). 2003. Critical discourse analysis: theory and interdisciplinarity. Palgrave Macmillan: New York.
Kevin Hogan. 1996. The psychology of persuasion : how to persuade others to your way of thinking. Pelican Publishing Company: Louisiana
L. J. Shrum (ed). 2004 The psychology of entertainment media: blurring the lines between entertainment and persuasion. Lawrence Erlbaum Associates.
Marcel Danesi. 2004. A Basic Course in Anthropological Linguistics. Canadian Scholars’ Press: Toronto
Meredith Williams. 1999. Wittgenstein, Mind and Meaning. Routledge: London.
Nicholas J. Cull, David Culbert, and David Welch. 2003. Propaganda and mass persuasion : a historical encyclopedia. 1500 to the present. ABC-CLIO: California.
Paul Ekman. 2003. Unmasking the face. Malors Book: Cambridge.
Richard Bandler and John Grinder. 1975. The Structure of Magic. Science and Behavior Books: California.
Tuen. A. van. Dijk. 1997. Discourse as Structure and process. Sage: London.
Malden. H. G. Widdowson. 2004. Text, Context, Pretext: Critical Issues in Discourse Analysis. Blackwell Publishing:
Picture source:
Puppet: http://s3.amazonaws.com/rapgenius/Puppet_on_a_String_by_NotTheOne.jpg